Bangga Menjadi Hindu

Jumat, 22 Juni 2018

Upacara Mabyakala dalam Pawiwahan


Kata Kunci :
·  Grhasta
·  Pawiwahan
·  Mabyakala
·  Sanggah Surya
·  Kelabang Kala Nareswari
·  Tikeh Dadakan
·  Papegatan
·  Suhun-suhunan
·  Tetimpug
·  Tegen-tegenan



Om Swastyastu
Kembali lagi di blog Bangga Menjadi Hindu, di kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai Upacara Mabyakala dalam Pawiwahan. Sebelumnya kalian pasti sudah mengetahui bagian-bagian dari Catur Asrama yaa kan? Nah, diantaranya ada Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta dan Bhiksuka. Disini saya akan memperdalam bagian Grhasta khususnya upacara mabyakala.
Sebelum lebih jauh lagi, masa grhasta adalah masa dimana seseorang memasuki masa berumah tangga, yang disahkan dengan upacara pawiwahan menurut hindu. Di dalam upacara pawiwahan tentu ada urutan-urutan upacaranya, sudahkah kalian tahu apa saja upacaranya? Berikut akan saya paparkan rentetan upacaranya :
·        Nyedek
·        Memadik
·        Penyambutan kedua mempelai
·        Mabyakala
·        Mepejati atau Pesaksian
Mengingat judul artikel ini adalah Upacara Mabyakala dalam Pawiwahan, maka disini saya hanya akan membahas secara rinci mengenai upacara mabyakala saja. Apakah kalian sudah pernah mendengar apa itu upacara mabyakala? Ya, mungkin saja sudah banyak diantara kalian yang telah pernah mendengar upacara mabyakala, bahkan telah menjalankannya. Mabyakala atau makala-kalaan berasal dari kata ‘kala” yang berarti energi yang timbul, yang diberikan awalan me-, sehingga dapat diartikan “menjadikan seperti kala”. Kala yang dimaksud adalah manifestasi dari kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan yang disebut dengan Asuri Sampad, sehingga dapat memberi pengaruhnya kepada pengantin termasuk terhadap keturunannya nanti, maka keadaan inilah yang dikatakan bahwa calon pengantin sedang diselubungi Sebel Kandelan. Kata sebelan kandelan berasal dari pengertian kata sebet, sedangkan kandelan berarti diri sendiri  dan orang lain, dalam hal ini adalah kedua mempelai. Kedua mempelai dikatakan sebet karena memulai hidup baru, memiliki tanggung  jawab baru, dan harus menerima berbagai cobaan dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, calon pengantin perlu melaksakan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi Kala Hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan yang disebut Daiwi Sampad.
Upacara mabyakala bisa kalian temui saat upacara ngrupuk, mebayuh dan pawiwahan. Namun upacara mabyakala dalam pawiwahan cukup menarik, karena ada beberapa sarana upakara yang tidak dapat kita jumpai dalam upacara mabyakala pada umumnya. Sarana/uparengga pada upacara mekala-kalaan berfungsi sebagai bahasa isyarat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi serta mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi yang menunjukkan dimana agama, budaya dan seni disatukan.  Sarana yang dimaksud diantaranya sebagai berikut :
  •         Sanggah Surya


Sanggah surya biasanya ditempatkan di halaman rumah dengan posisi menghadap ke barat atau ke selatan atau berhadap-hadapan dengan pengantin. Mengapa diletakkan di halaman rumah? Karena upacara mabyakala ini diimplementasikan kepada titik sentral kekuatan kala yang ada pada madhianing mandhala (episentrum kala bucari). Sanggah surya ini menyimbolkan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi, dalam hal ini adalah Dewa Surya, dan Sang Hyang Semarajaya bersama Sang Hyang Semara Ratih. Pernahkah kalian melihat pisang yang masih berisi jantung pisang yang digantung di sanggah surya? Apa ya kira-kira maksudnya? Pisang yang digantung masih berisi jantung pisang tersebut disebut dengan “biu lalung”, biasanya berisi dua buah pisang atau lebih. Biu lalung ini melambangkan kekuatan Purusa dari Sang Hyang Widhi yang bermanifestasi menjadi Sang Hyang Smarajaya sebagai Dewa Kebajikan, Ketampanan, dan Kebijaksanaan, itu menjadi simbol dari pengantin pria setelah disucikan. Selain itu ada juga kelukuh yang merupakan simbol kekuatan Prakerti dari Ida Sang Hyang Widhi sebagai manifestasi Sang Hyang Semara Ratih sebagai Dewi Kecantikan, Kebajikan dan Kebijaksanaan yang merupakan simbol dari pengantin wanita setelah disucikan.
  •        Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)



Kata Nareswari mengandung maksud “energi yang menyatu”. Kelabang ini dibuat menyerupai manusia.  Kelabang ini diduduki oleh kedua mempelai sebagai alas pakala-kalaan.
  •         Tikeh Dadakan
Tikeh dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau (yang masih muda). Warna hijau pada tikeh dadakan melambangkan kesucian mempelai wanita (belum pernah berhubungan intim). Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual tikeh dadakan adalah simbol dari Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni). Sedangkan pengantin pria membawa keris (nyungklit keris) yang melambangkan kekuaatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga).

  •         Benang Putih/Papegatan


Di dalam upacara mabyakala ada dibuatkan benang putih yang panjangnya kira-kira setengah meter yang kedua ujungnya diikatkan pada dua buah cabang pohon dapdap.  Benang putih yang diikatkan terdiri dari 12 helai yang mengandung makna sebagai penyucian sebel kandelan. Benang tersebut juga merupakan simbol dari lapisan kehidupan, berarti pengantin telah siap untuk memasuki masa Grhasta Asrama dan melepas masa Brahmacari (melepas masa lajang). Di dalam masa Grhasta Asrama, mereka mulai belajar mencari pengalaman dalam bermasyarakat agar mampu menjadi seorang yang sadnyana, hal inilah yang disebut dengan wiwaha, oleh karena itu upacara perkawinan juga disebut pawiwahan.

  •         Tegen-tegenan
Di dalam upacara makala-kalaan, ada yang namanya tegen-tegenan yang dijinjing oleh pengantin pria yang terdiri dari :
1.      Batang  kayu dadap/tebu sebagai sanan.
2.      Sebuah cangkul
3.    Di bagian depannya digantungkan sebuah periuk berisi siut, ikan yuyu dan di bagian belakangnya sebutir buah kelapa.
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Tegen-tegenan terdiri atas beberapa perangkat diantaranya seperti berikut :
a.      Batang Tebu
Artinya sepasang pengantin diharapkan mampu menjalani kehidupan barunya secara bertahap seperti halnya batang tebu yang tumbuh ruas demi ruas.
b.     Batang Kayu Dapdap
Makna dari batang kayu dapdap yaitu sebagai kayu sakti, pakayunan. Sakti berasal dari sakta yang artinya “ada”, mengalir amertha. Dengan demikian kayu sakti maksudnya memohon kehadapan Sang Hyang Widhi agar diberikan anugrah sesuai dengan tujuan hidupnya selama berumah tangga.
c.     Cangkul
Cangkul dalam upacara ini sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan dharma.
d.     Priuk
Priuk sebagai simbol windhu.
e.     Buah kelapa
Buah kelapa sebagai simbol Brahma.
f.      Seekor Yuyu
Sebagai simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.
  •        Sok Dagangan
Di dalam upacara makala-kalaan ada uparengga yang disebut dengan sok dagangan yang terdiri dari :
a)     Panyegjeg
Panyegjeg adalah sebuah sarana yang dimaksudkan untuk memohon anugrah Kehadapan Ida Sang Hyang Widhi agar selalu berperilaku baik, jujur, bertindak selalu dengan suara budhinya. Adapun isi dari panyegjeg yaitu :
1.      Beras, sebagai simbol Sang Hyang Bayu
2.      Benang, sebagai simbol Sang Hyang Aji Akasa
3.      Bakul, sebagai simbol Sang Hyang Pertiwi
4.      Tingkih, sebagi simbol Sang Hyang Trenggana
5.      Pangi, sebagi simbol Sang Hyang Siwa Baruna
6.      Tunas Kelapa, sebagai simbol Sang Hyang Tunggal
7.      Pohon Keladi, sebagai simbol Sang  Hyang Anantaboga
8.      Pohon Kunyit, sebagai simbol Sang Hyang Mahadewa
9.      Pohon Endong, sebagai simbol Sang Hyang Brahma
b)     Panegteg
Selain ada panyegjeg, di dalam suhun-suhunan juga ada panegteg yang tentunya isinya juga berbeda. Tahukah kalian apa saja isinya? Berikut ini adalah isi dan makna dalam panegteg :
1.     Sampian Naga Sari, sampaian nagasari merupakan bahasa isyrat kepada Sang Hyang Widhi untuk memohon sarining amerta. Bila dikaji dari asal katanya,  Naga Sari terdiri dari dua kata Naga yang diilustrasikan sebagai lambang air. Apabila air dianugrahi menjadilah tirta, sedangkan tirta mengandung esensi amertha. Dengan demikian naga sari mengandung makna sarining amertha.
2.   Penyeneng, kata penyeneng berasal dari kata “nyeneng” yang artinya hidup, mendapat awalan pe-, sehingga mengandung arti dihidupkan, yang dimaksudkan dengan dihidupkan disini yaitu dihaturkan kehadapan Sang Hyang Widhi.
3.   Sebuah nasi tumpeng, sebagai simbol gunung atau lingga, sedangkan banten danan sebagai simbol samudra atau yoni serta juga sebagai simbol danau atau welas asih.
4.      Buah-buahan/sarwa pala, sebagai simbol hasil dari karma.
5.      Tebu, simbol amerta.
6.    Pisang, sebagai simbol “kebiyuhdayan” atau memiliki pemikiran yang luas.
7.      Peras tulung sayut, sebagai simbol permohonan kerahayuan.
8.      Canang burat wangi lenga wangi, simbol kekuatan welas asih.
9.      Jajan, simbol kama (semangat) atau Brahma.
  •         Kala Sepetan
Kala sepetan ini disimbolkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benang tri datu, yang diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun dapdap. Mengapa dinamakan kala sepetan? Karena kala sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima pakala-kalaan. Adapun maksud dari lidi tiga buah dan serabut kelapa adalah sebagi berikut :
a.      Lidi 3 buah
Lidi yang berada di kala sepetan diapakai oleh kedua mempelai mencemeti pasangannya saling bergantian sebanyak tiga kali. Maksud dan tujuannya yaitu :
1.      Lidi yang jumlahnya tiga buah adalah simbol Tri Kaya Parisudha
2. Mencemeti adalah simbol dari kedua mempelai untuk saling mengingatkan dan saling memacu agar tetap ingat terhadap kewajibannya di dalam kehidupan berumah tangga serta melaksanakan kewajiban Tri Rna sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha.
b.      Serabut kelapa
Tahukah kalian,mengapa serabut kelapa yang digunakan pada kala sepetan dibelah tiga lalu didalamnya diisi sebutir telur bebek kemudian ditutup kembali dan diikat dengan benang tri datu? Berikut ini maksudnya :
1.      Serabut kelapa dibelah tiga, sebagai simbol Tri Guna
2.      Benang Tri Datu, sebagai simbol ikatan kesucian
3.      Telur, sebagai simbol manik
Kemudian serabut kelapa tersebut ditendang oleh kedua mempelai masing-masing tiga kali, setelah itu diduduki oleh mempelai wanita. Adapun makna secara keseluruhan yaitu, bila kedua mempelai mengahadapi permasalahan selama menjalani kehidupan berumah tangga diharapkan keduanya mampu menyadari egonya masing-masing untuk mempertahankan ikatan perkawinannya. Oleh karena itu harus selalu ingat dengan penyucian diri agar kekuatan Tri Guna-nya dapat dikendalikan. Disamping itu juga sebagai simbolis kedua mempelai memohon agar cepat mendapatkan keturunan.
  •         Tetimpug
Tetimpug yaitu beberapa pohon bambu kecil yang ada ruasnya sebanyak lima ruas atau tujuh ruas. Biasanya batang bambu yang masih muda ini dibakar yang nantinya akan menghasilkan suara ledakan sebagai penanda kepada tri upasaksi bahwa kedua mempelai telah sah menjadi pasangan suami-istri.

Demikianlah beberapa upakara yang menurut saya unik dan tidak dapat kita temukan di upacara mabyakala pada umumnya. Jadi patutlah kita berbangga menjadi agama hindu karena di dalam sebuah upacara dapat menyatukan seni, agama dan budaya sekaligus. Dengan demikian kita juga patut untuk terus melestarikan kebudayaan kita agar tidak berhenti sampai di generasi yang sekarang.

Baiklah kawanku sedharma, demikianlah blog saya kali ini semoga dapat bermanfaat di kehidupan sehari-hari kita. Sampai jumpa di blog yang berikutnya.
 Om Santih, Santih, Santih Om.

Pawetonan


Kata Kunci :
·        Pawetonan
·        Karma Wesana
·        Reinkarnasi
·        Samsara
·        Moksa
·        Tri Rna
·        Yadnya
·        Suddhi Wadani
·        Budi Pekerti



Om Swastyastu
Kembali lagi di blog Bangga Menjadi Hindu. Nah, kali ini saya akan membahas mengenai PAWETONAN. Mungkin kalian sudah tau apa itu pawetonan. Disini saya akan menjelaskan makna upacara pawetonan secara mendalam. Yukk langsung saja disimak !!!
Upacara manusa yadnya pawetonan ini dirayakan setiap 6 bulan sekali atau 210 hari sekali. Hmm, sudahkah anda menerapkan di dalam kehidupan anda kawan? Sebelum lebih jauh lagi, apa kalian tahu asal kata pawetonan? Pawetonan berasal dari kata “wetu” yang artinya lahir ke dunia (reinkarnasi)  yang selanjutnya mendapat awalan pe dan akhiran an sehingga menjadi pawetuan, kemudian terjadi persenyawaan huruf vokal maka menjadi kata pawetonan.
Menurut pandangan ajaran agama Hindu yang tercantum dalam Kitab Sarassamuscaya, kelahiran kembali menjadi manusia sangat untung dan mulia, ya walaupun masih membawa Karma Wasana dari kehidupan yang terdahulu, namun kelahiran menjadi seorang manusia lebih baik daripada lahir menjadi binatang ataupun tumbuhan lho. Mengapa? Karena lahir menjadi manusia, kita dipengaruhi oleh Tri Pramana (sabda, bayu, idep) yang kenyatannya melebihi makhluk lain.
Sesungguhnya hari lahir ke dunia bagaikan jalan by pass dari alam akhirat ke alam fana, yang merupakan suatu kesempatan untuk memperbaiki  karma wasana dari kehidupan yang dulu. Lahir kembali ke dunia menjadi makhluk hidup sebenarnya tergantung kepada karmanya masing-masing roh, ada yang mengambil wujud manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini akan dapat diketahui secara nyata berdasarkan penelitian dan penganalisaan dan juga kepercayaan tehadap ajaran Hindu yang disebut dengan Samsara. Misalnya, seorang manusia yang lahir namun memiliki sifat seperti binatang. Maka yang demikianlah memerlukan upacara pawetonan khusus  sebagai penetralisir yang disebut dengan “Bebayuhan Oton”, karena kata bayuh berarti bayah yang bermaksud untuk menetralisir sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Demikian juga roh manusia pun dapat bersemayam dalam tubuh binatang yang disebabkan oleh semasa hidupnya selalu berbuat buruk/jahat (asubha karma). Maka dari itu, dilakukanlah upacara pawetonan yang dimana upakara pawetonan tersebut telah mengandung kekuatan magis, dimana kekuatan magisnya sebagai penetralisir kekuatan-kekuatan magis manusia yang cenderung berbuat Asubha Karma untuk dikendalikan ke arah Subha Karma agar selaras dan seimbang dengan Bhuwana Agung sesuai dengan swadharmanya sebagai seorang manusia.
Penting untuk diketahui, bahwa manusia yang lahir ke dunia terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
1.      Unsur Hyang Widhi dengan adanya atma, sehingga manusia tampak hidup dan memiliki kekuatan supranatural, intuisi, perasaan bahagia, tentram damai dan memiliki pikiran yang suci.
2.      Unsur Dewa (Dewa Oton) dengan adanya jiwa manusia sebagai badan penyebab, menyebabkan manusia bisa beraktivitas, memiliki perasaan gembira dan suka, memiliki kebijaksanaan/kharisma dan bisa mengasihi.
3.      Unsur Karma Wasana dari kehidupan terdahulu, sehingga manusia memiliki perasaan sedih, dapat menangis, sabar, dengan adanya pitara.
4.       Unsur Panca Maha Bhuta, dengan adanya sosok tubuh manusia, manusia bisa saja mengalami kegelapan atau kebingungan (Unsur Bhuta), bisa marah (Unsur Kala), dan bisa sakit (Unsur Durga). Hal inilah yang mempunyai pengaruh cukup besar sehingga manusia dapat berbuat adharma (Asubha Karma).
Semua unsur inilah yang mempengaruhi sikap positif maupun negatif pada manusia. Pengaruh ini tercermin dalam Tri Kaya Parisudha,maka petunjuk ajaran suci ini haruslah diamalkan melalui ajaran Catur Marga Yoga.
Jadi apa makna dan fungsi upacara pawetonan yang kita laksankan setiap 6 bulan sekali tersebut? Berikut ini fungsi sekaligus makna dari upacara pawetonan :
1.      Upacara pawetonan memiliki nilai dasar kelepasan (Moksa)
Pada dasarnya manusia yang lahir ke dunia masih dipengaruhi oleh karma wasana yang terdahulu. Maka, manusia yang lahir ke dunia haruslah dapat memperbaiki karma wasananya menjadi lebih baik. Dengan demikian, maka roh yang ada di dalam diri manusia dapat kembali menjadi jiwa yang nantinya akan dapat bersatu dengan atma yang disebut dengan jiwatman. Setelah selesai menjalankan tugasnya di dunia maka jiwatman akan kembali kepada Sang Pencipta yaitu dengan wujud Parama Atman, inilah yang dikatakan moksa.
2.      Upacara pawetonan sebagai pembayar utang (Rna) dan peleburan dosa.
Tri Rna yang berhubungan dengan upacara pawetonan yaitu Pitra Rna, karena menurut pandangan agama hindu orang yang lahir di dalam suatu keluarga, roh leluhur (dewa pitara) dalam keluarga tersebut pun ikut lahir kembali yang nantinya menuntut kewajiban kepada sentananya  agar selalu berbuat kebaikan. Jika seorang sentana sudah dapat berbuat kebaikan semasa hidupnya, maka pahala yang didapat dari berbuat kebajikan itu nantinya akan mempengaruhi peleburan dosa roh leluhurnya maupun leluhur yang masih ada di dunia seperti ayah,ibu, kakek,nenek,dll.
3.       Upacara pawetonan sebagai persembahan/yadnya (korban suci) ke hadapan roh leluhur
Telah saya jelaskan diatas, bahwa dalam pelaksanaan pawetonan tersebut sebagai pembayaran hutang yaitu Pitra Rna yang diimplementasikan dalam upacara manusa yadnya. Pelaksanaan yadnya ini tentunya harus didasarkan atas hati yang tulus ikhlas.
4.      Upacara pawetonan sebagai faktor penyucian diri (Suddhi Wadani)
Upacara pawetonan juga memiliki makna dan fungsi penyucian diri baik secara jasmani maupun rohani, karena upacara pawetonan memiliki kekuatan magis. Dengan upacara pawetonan unsur-unsur kejiwaannya akan disucikan oleh kekuatan upacara tersebut, sehingga keseimbangan dan keserasian unsur-unsur kejiwaannya akan dikembalikan seperti kedudukan semula, keadaan ini dicerminkan dengan adanya perasaan bahagia, tenang bagi yang diupacarai, seperti slogan dalam Bahasa Bali “demen atine buka cara otonin”.
5.      Upacara pawetonan sebagai etos pendidikan Budi Pekerti
Upacara pawetonan dikatakan sebagi etos pendidikan Budi Pekerti karena pawetonan mengandung etika yang dicerminkan terhadap aturan-aturan (sesana-sesana) yang digunakan sebagai etos pendidikan Budi Pekerti yang diantaranya Aji Sesana (aturan sebagai seorang ayah) dan Putra Sesana (aturan sebagai seorang anak). Untuk dapat mengambil maknanya mengenai etos pendidikan Budi Pekerti dalam pelaksanaan upacara pawetonan, berikut saya cantumkan salah satu petikan dari sumber ajaran Hindu :
                        Kamannata Pita Cainam,
                        Yudut Pada Yato Mithah.
                        Sambhutim Tasya Tam,
                        Widya Dyona Wabhija Yate.
                        Acarya Ryas Twasya Yan Jatim,
Widhi Wad Weda Paragah.
Utpadayati Sawitrya,
Sa Satyasa Jara Mara.
Utpadakabrah Madrator,
Gariyan Brahmadahpita.
Pretyaceha Ca Ca Cwatam.
                                                            (Silakrama hal. 25)
Yang artinya :
Ibu dan bapak melahirkan karena nafsu birahi, maka ia lahir dari perut, ketahuilah inilah kelahiran jasmani, namun kelahiran yang berdasarkan pentasbihan dari Acarya (Guru Spiritual) yang telah lahir dari Weda (Pawetonan), itulah kelahiran yang sebenarnya, yang utuh dan abadi (Ajaramara).
Di era globalisasi seperti ini, kita harus tetap menjaga kepribadian sebagai umat beragama yang baik, menjunjung nilai-nilai keagamaan, dan tentunya kita harus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari ya kawan! Di zaman sekarang yang semakin maju, budaya seperti pawetonan semakin ditinggalkan oleh masyarakat karena berbagai alasan diantaranya malas membuat upakara pawetonan dan lebih senang mengambil kegiatan yang mudah dan praktis dengan mengadakan pesta ulang tahun, padahal pesta ulang tahun diluar kepercayaan Hindu.
Jadi, dapat saya simpulkan bahwa upacara pawetonan tersebut sangatlah penting dilakukan bagi setiap umat Hindu karena upacara tersebut memiliki magis sebagai penetralisir Asubha Karma agar manusia memiliki keseimbangan dengan Tuhan, keseimbangan dengan lingkungan, keseimbangan dengan sesama manusia. Disamping itu upacara pawetonan memiliki fungsi penyucian secara lahir batin yang memiliki tujuan untuk mencapai kedamaian di hati, dunia dan akhirat nantinya. Sesuai dengan ajaran suci agama Hindu, setiap umatnya selalu dituntut untuk berbuat kebajikan selama hidupnya, tetapi ada saja jerat sebagai mayanya Sang Hyang Widhi untuk menguji jati diri manusia di dunia ini. Nah, sekarang tergantung sikap dari manusia itu sendiri untuk menyikapi jerat tersebut agar mampu melepaskan diri dari jerat tersebut, termasuk salah satu caranya yaitu dengan melaksanakan dan mengamalkan upacara pawetonan dalam kehidupannya.
Baik kawanku sedharma, sekian dulu ya blog tentang pawetonan ini. Sampai jumpa lagi di blog saya yang berikutnya.
 Om Santih, Santih, Santih Om.