Bangga Menjadi Hindu

Jumat, 22 Juni 2018

Bangga Akan Kebudayaan Hindu



Kata Kunci :
·        Agama Hindu adalah Ibu dari Semua Agama
·        Ngaben
·        Tri Rna
·        Siwaratri



Om Swastyastu
Hai, selamat datang di blog saya , nah kali ini saya akan memberikan sedikit opini saya mengenai kebanggaan saya menjadi seorang hindu............ yuk langsung saja !




          Agama hindu sering dikatakan sebagai ibu diantara agama – agama mengapa demikian karena agama hindu merupakan agama tertua di dunia, selain dikatakan sebagai agama tertua di dunia  R.C Zaehner juga mengatakan “ di antara keluarga agama – agama, Hindu adalah seorang ibu bijaksana yang mengetahui semuanya” Dia menjawabnya sendiri : “ karena Pustaka Sucinya, “ Weda ”, menyatakan , “ kebenaran adalah satu, tetapi orang – orang bijaksana menyebutnya dengan nama – nama berbeda. Dan tuhan, dalam wujud Avatara Krisna, berkata di dalam Bhagavad Gita : “ Semua jalan menuju Kepada ku “
Saya sangat bangga menjadi seorang hindu, mengapa demikian? Karena agama hindu memiliki berbagai kebudayaan / tradisi yang sangat kental dan sampai sekarang masih dijalankan oleh umat hindu diantaranya Upacara Panca Yajna, subak dll. 

Nah, pada kesempatan kali ini  saya akan membahas mengenai penghormatan kita terhadap leluhur, melalui upacara ngaben, nah kalian pasti sudah tidak asing lagi mendengar kata "Ngaben" .
 Ketika kalian mendengar kata ngaben yang terbesit dalam benak kalian pasti mayat,...   that’s right....!



Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Nah ngaben ini sangat berkaitan dengan Tri Rna,
Kalian pasti sudah tau Tri Rna Itu apa..... untuk mengingatnya kembali saya akan memaparkan pengertian Tri Rna.
Tri Rna berasal dari bahasa sansekerta “Tri” yang berarti tiga dan “Rena” atau “Rna” berarti hutang atau kewajiban. Sehingga Tri Rna dapat diartikan sebagai tiga jenis hutang atau tiga jenis kewajiban. Yang bagian bagiannya adalah Dewa Rna, Pitra Rna, Rsi Rna.
Nah Ngaben ini termasuk kedalam Pitra Rna, dimana Pitra Rna ini adalah hutang kepada leluhur. Ngaben ini juga memiliki beberapa bentuk Upacara ngaben diantaranya :
1.      Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai gede ( dangin ) yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2.      Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
3.      Ngaben Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
4.      Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk bayi yang meninggal setelah kepus pusar dan sebelum tanggal giginya.
5.      Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.

Tujuan dilaksanakannya Upacara ngaben adalah untuk melepaskan Sang Atman (Roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat bersatu dengan tuhan ( moksa ) dan juga bertujuan untuk mengembalikan segala unsur panca Maha Bhuta( 5 Unsur pembangun Badan kasar).
Nah, itu merupakan salah satu wujud kebanggan saya menjadi seorang hindu, selain itu ada Siwaratri dimana siwaratri ini artinya  “ malam siwa “ 





Siwaratri berasal dari siwa,berasal dari bahasa sansekerta, yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan, dan membahagiakan. Dalam hal ini kata siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diberi nama atau gelar kehormatan dewa siwa. Dan ratri artinya “ malam “. Malam disini juga dimaksudkan kegelapan. Jadi, Siwaratri artinya malam untuk melebur atau mem-prelina ( melenyapkan ) kegelapan hati menuju jalan yang terang.
 Kemudian pelaksanaan siwaratri pada hari caturdasa krsnapaksa, artinya panglong ping 14 sasih ke-7, atau sehari sebelum bulan mati pada bulan “ Magha “ (Kepitu) yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun. 

Nah dalam siwaratri ini kita memiliki kewajiban unruk melaksanakan laku utama atau janji untuk teguh hati untuk melaksanakan siwaratri, dimana laku utama ini antara lain : 

1.      Tingkat utama yaitu dilaksanakannya Upawasa, Monabrata dan jagra dimana Upawasa artinya “ berpuasa “ tidak makan dari pukul 06:00 WIB pada panglong ping 14 sampai pukul 18:00 WIB tileming sasih kapitu, atau selama 36 jam., Monabrata artinya pantang bicara atau berdiam diri tanpa bicara, lamanya juga sama dengan upawasa tersebut dan jagra artinya berjaga, bangkit, maksudnya tidak tidur selam 36 jam sama dengan pelaksanaan upawasa. 
2.      Tingkat Madya yaitu dilaksanakan Monabrata dan jagra,dimana Monabrata artinya pantang bicara atau berdiam diri tanpa bicara, lamanya juga sama dengan upawasa, Jagra artinya bangkit, maksudnya tidak tidur selam 36 jam.
3.      Dan yang terakhir yaitu Tingkat Nista yaitu dilaksanakannya Jagra, artinya berjaga, bangkit, maksudnya tidak tidur selam 36 jam sama dengan pelaksanaan upawasa. 


Sama seperti yang dilakukan oleh lubdhaka dimana lubdhaka ini adalah seorang pemburu, saya singkat aja ya, intinya si lubdhaka ini hampir setiap hari berburu binatang kehutan, dan pada suatu hari yaitu pada hari pangelong ke-14 kepitu ( hari ke-14 bulan mati pada bulan ketujuh ), pada pagi hari ia sudah pergi kehutan untuk berburu, namun, sampai malam ia tidak mendapat kan apapun, dan akihrnya ia pun bermalam dihutan ( kalau pulang tidak mungkin karena gelap ) akhirnya si lubdhaka diam diatas pohon kayu “ bila “  yanga ada di pinggir telaga yang dahannya menjulur ke atas telaga itu. Untuk mengilangkan rasa kantunnya ia memetik daun bila dan dijatuhkan ke dalam telaga, si lubdhaka ini tidak mengetahui bahwa di dalam telaga itu ada sebuah lingga Dewa siwa atau perwujudan lambang siwa, dan kebetulan pada hari itu hari yang baik untuk melakukan pemujaan terhadap dewa siwa.
             Keesokan harinya si lubdhaka pulang dengan tangan hampa, karena tak seekorpun memperoleh binatang buruan. Pada suatu ketika si lubdhaka jatuh sakit. Sakitnya makin parah dan akhirnya ia menemui ajalnya, setelah ia mati atmanya mengalami kebingungan dan kegelapan karena semasa hidupnya ia sering membunuh binatang. Kemudian dewa siwa mengetahui hal itu dan mengenal pemburu itu, karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan pada malam siwa. Dewa siwa mengutus abdinya ( Watek Gana ) menyambut atma di lubdhaka untuk dibawa ke Siwa loka. Saat itu datanng pula laskar dewa Yamadipati sebagai penguasa neraka. Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan hebat antara laskar dewa siwa dengan laskar dewa Yamadipati memperebutkan atma si lubdhaka , kemudian laskar dewa siwa memenangkan peperangan dan atma si lubdhaka dibawa ke siwaloka (sorga) diberi tempat yang baik. 
Nah, kita memiliki kewajiban untuk melakukan brata siwaratri untuk meningkatkan kerohanian, dan mengintrospeksi diri menjadi lebih baik.
Baiklah kawan sedharmaku, sekian dulu ya artikel saya kali ini, dan tetap nantikan artikel berikutnya.
Om Santih, Santih, Santih Om.

1 komentar: