Kata Kunci :
·
Agama Hindu adalah Ibu dari Semua Agama
·
Ngaben
·
Tri Rna
·
Siwaratri
Om Swastyastu
Hai, selamat datang di blog saya , nah kali ini saya akan
memberikan sedikit opini saya mengenai kebanggaan saya menjadi seorang
hindu............ yuk langsung saja !
Agama hindu sering dikatakan sebagai ibu diantara agama – agama mengapa
demikian karena agama hindu merupakan agama tertua di dunia, selain dikatakan
sebagai agama tertua di dunia R.C Zaehner juga mengatakan “ di antara
keluarga agama – agama, Hindu adalah seorang ibu bijaksana yang mengetahui
semuanya” Dia menjawabnya sendiri : “ karena Pustaka Sucinya, “ Weda ”,
menyatakan , “ kebenaran adalah satu, tetapi orang – orang bijaksana
menyebutnya dengan nama – nama berbeda. Dan tuhan, dalam wujud Avatara Krisna,
berkata di dalam Bhagavad Gita : “ Semua jalan menuju Kepada ku “
Saya sangat bangga menjadi seorang hindu, mengapa
demikian? Karena agama hindu memiliki berbagai kebudayaan / tradisi yang sangat
kental dan sampai sekarang masih dijalankan oleh umat hindu diantaranya Upacara
Panca Yajna, subak dll.
Nah, pada kesempatan kali ini saya akan membahas
mengenai penghormatan kita terhadap leluhur, melalui upacara ngaben, nah kalian
pasti sudah tidak asing lagi mendengar kata "Ngaben" .
Ketika kalian mendengar kata ngaben yang
terbesit dalam benak kalian pasti mayat,...
that’s right....!
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan
oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang
ditunjukkan kepada Leluhur). Nah ngaben ini sangat berkaitan dengan Tri Rna,
Kalian pasti sudah tau Tri Rna Itu apa..... untuk
mengingatnya kembali saya akan memaparkan pengertian Tri Rna.
Tri Rna berasal dari bahasa sansekerta “Tri” yang
berarti tiga dan “Rena” atau “Rna” berarti hutang atau kewajiban. Sehingga Tri
Rna dapat diartikan sebagai tiga jenis hutang atau tiga jenis kewajiban. Yang
bagian bagiannya adalah Dewa Rna, Pitra Rna, Rsi Rna.
Nah Ngaben ini termasuk kedalam Pitra Rna, dimana
Pitra Rna ini adalah hutang kepada leluhur. Ngaben ini juga memiliki beberapa
bentuk Upacara ngaben diantaranya :
1. Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh
(tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun
waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian
biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa
berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala
sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai gede ( dangin )
yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk
memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan
dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak
keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti
membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan
pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang
bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2. Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang
pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara
menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian
mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan
aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu di mana masyarakat desa
tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka
jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan
ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
3. Ngaben Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka
mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal
di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini
jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan
diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
4. Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk bayi yang meninggal setelah kepus pusar dan
sebelum tanggal giginya.
5. Warak Kruron
Warak Kruron
adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan dilaksanakannya Upacara
ngaben adalah untuk melepaskan Sang Atman (Roh) dari belenggu keduniawian
sehingga dapat bersatu dengan tuhan ( moksa ) dan juga bertujuan untuk
mengembalikan segala unsur panca Maha Bhuta( 5 Unsur pembangun Badan kasar).
Nah, itu
merupakan salah satu wujud kebanggan saya menjadi seorang hindu, selain itu ada
Siwaratri dimana siwaratri ini artinya “ malam siwa “
Siwaratri berasal dari siwa,berasal dari bahasa
sansekerta, yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan, dan
membahagiakan. Dalam hal ini kata siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan
untuk salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diberi nama atau
gelar kehormatan dewa siwa. Dan ratri artinya “ malam “. Malam disini juga
dimaksudkan kegelapan. Jadi, Siwaratri artinya malam untuk melebur atau
mem-prelina ( melenyapkan ) kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Kemudian pelaksanaan siwaratri pada hari caturdasa
krsnapaksa, artinya panglong ping 14 sasih ke-7, atau sehari sebelum
bulan mati pada bulan “ Magha “ (Kepitu) yaitu malam yang paling gelap di dalam
satu tahun.
Nah dalam siwaratri ini kita memiliki kewajiban unruk
melaksanakan laku utama atau janji untuk teguh hati untuk melaksanakan
siwaratri, dimana laku utama ini antara lain :
1.
Tingkat utama yaitu dilaksanakannya Upawasa, Monabrata
dan jagra dimana Upawasa artinya “ berpuasa “ tidak makan dari pukul 06:00 WIB
pada panglong ping 14 sampai pukul 18:00 WIB tileming sasih kapitu, atau selama
36 jam., Monabrata artinya pantang bicara atau berdiam diri tanpa bicara,
lamanya juga sama dengan upawasa tersebut dan jagra artinya berjaga, bangkit,
maksudnya tidak tidur selam 36 jam sama dengan pelaksanaan upawasa.
2.
Tingkat Madya yaitu dilaksanakan Monabrata dan
jagra,dimana Monabrata artinya pantang bicara atau berdiam diri tanpa bicara,
lamanya juga sama dengan upawasa, Jagra artinya bangkit, maksudnya tidak tidur
selam 36 jam.
3.
Dan yang terakhir yaitu Tingkat Nista yaitu
dilaksanakannya Jagra, artinya berjaga, bangkit, maksudnya tidak tidur selam 36
jam sama dengan pelaksanaan upawasa.
Sama seperti yang dilakukan oleh lubdhaka dimana
lubdhaka ini adalah seorang pemburu, saya singkat aja ya, intinya si lubdhaka
ini hampir setiap hari berburu binatang kehutan, dan pada suatu hari yaitu pada
hari pangelong ke-14 kepitu ( hari ke-14 bulan mati pada bulan ketujuh ), pada
pagi hari ia sudah pergi kehutan untuk berburu, namun, sampai malam ia tidak
mendapat kan apapun, dan akihrnya ia pun bermalam dihutan ( kalau pulang tidak
mungkin karena gelap ) akhirnya si lubdhaka diam diatas pohon kayu “ bila
“ yanga ada di pinggir telaga yang dahannya menjulur ke atas telaga itu.
Untuk mengilangkan rasa kantunnya ia memetik daun bila dan dijatuhkan ke dalam
telaga, si lubdhaka ini tidak mengetahui bahwa di dalam telaga itu ada sebuah
lingga Dewa siwa atau perwujudan lambang siwa, dan kebetulan pada hari itu hari
yang baik untuk melakukan pemujaan terhadap dewa siwa.
Keesokan harinya si lubdhaka pulang dengan tangan hampa, karena tak
seekorpun memperoleh binatang buruan. Pada suatu ketika si lubdhaka jatuh
sakit. Sakitnya makin parah dan akhirnya ia menemui ajalnya, setelah ia mati
atmanya mengalami kebingungan dan kegelapan karena semasa hidupnya ia sering
membunuh binatang. Kemudian dewa siwa mengetahui hal itu dan mengenal pemburu
itu, karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan pada malam siwa. Dewa siwa
mengutus abdinya ( Watek Gana ) menyambut atma di lubdhaka untuk dibawa ke Siwa
loka. Saat itu datanng pula laskar dewa Yamadipati sebagai penguasa neraka.
Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan hebat antara
laskar dewa siwa dengan laskar dewa Yamadipati memperebutkan atma si lubdhaka ,
kemudian laskar dewa siwa memenangkan peperangan dan atma si lubdhaka dibawa ke
siwaloka (sorga) diberi tempat yang baik.
Nah, kita memiliki kewajiban untuk melakukan brata
siwaratri untuk meningkatkan kerohanian, dan mengintrospeksi diri menjadi lebih
baik.
Baiklah kawan sedharmaku, sekian dulu ya artikel saya
kali ini, dan tetap nantikan artikel berikutnya.
Om Santih, Santih, Santih Om.
Makasi infonya
BalasHapus